Selamat sore rintik hujan yg baru saja jatuh.
Sore ini gue agak ga enak badan, maklum lah faktor usia. Minggu ini adalah minggu kampret yg nyebelin dala hidup gue. Flu. Hidung tersumbat. Kunci kosan ketinggalan di tasik. Belum ngerjain gamtek. Kartu praktek fisika ilang. Laporan masih numpuk dan ada rindu yg masih tertahan. Susah ya jadi mahasiswa, mending jadi iron man. Enak bisa terbang.
Btw gue mau ngucapin selamat menempuh hidup baru buat Anita sama kang Irpan. Semoga jadi keluarga berencana. Amin.
Hari ini gue mengesampingkan semua tugas untuk nulis di blog. Karena nulis lebih asik daripada ngerjain tugas. Kalo ngerjain tugas, gue bisa ngeboongin dosen demi nilai bagus, misalnya nyontek punya temen atau nyari di internet lalu di klaim bahwa makalah itu punya kita. Tapi kalo nulis, meskipun ga ada yg menilai, gue ngga bisa boong, gue harus jujur pada diri sendiri. Karena menulis tidak terikat oleh dosen,sains,nilai dan administrasi yg ribet. Nulis itu terikat oleh hati dan gue ga bakal bisa membohongi hati gue sendiri. Asik.
Semalem gue baru aja nonton film the fault in our stars. Itu awesome. Jadi film ini tentang dua orang yg menderita penyakit kanker yg saling mencintai. Mereka saling support dan saling mendo'akan. Hal yg paling gue inget dalam film ini adalah saat augustus meninggal. Hazel mengatakan, saat dirinya di suruh memberi angka pada rasa sakit akibat kanker yg diidapnya, dia selalu menjawab 9. Karena dia menyimpan angka 10 untuk rasa sakit yg lebih menyakitkan dari menahan sakit kanker, yaitu kehilangan seseorang yg dia sayangi. Seharusnya film ini di tonton sama cewe-cewe cantik yg suka nyari cowo ganteng. Film itu mengajarkan bahwa saat kita mencintai, kita tidak perlu bersusah mencari dan menjadi sempurna, cukup jadi diri sendiri dan let it flow.
Film ini mengajarkan bagaimana kita bahagia dengan segala keterbatasan. Mereka tidak memikirkan tentang kematian, karena sudah di vonis oleh dokter, namun mereka lebih memikirkan bagaimana membahagiakan pasangan di waktu-waktu terakhir yg mereka punya. Tidak seperti kita yg normal. kita justru lebih banyak sibuk mementingkan ego ketimbang membahagiakan pasangan. Itu karena kita tidak tau kapan akan mati. Kita menebak-nebak kapan kita mati, mungkin masih lama atau mungkin besok Saat itu tiba, kita menyesal karena sudah tidak membahagiakan orang yg kita sayang. Akhirnya gue sadar, ternyata menebak-nebak kematian lebih menakutkan daripada kematian yg sudah di prediksikan. Ketidakpastian itu lebih menyeramkan.
Terlebih kalo misalkan sekarang gue punya pacar. Selain takut mati karena belum punya cukup bekal, gue juga takut mati disaat dia sedang kecewa karena gue.
Oke. Skip.
Gue ga akan membahas tentang kematian, tapi gue akan membahas cinta yg sesederhana mereka saling mencintai. Gue adalah orang yg ga punya banyak mantan. Jadi pengalaman cinta gue sedikit. Tapi ada satu cewe yg pernah jadi pacar gue dan dia adalah cewe yg paling nerima gue apa adanya. Dia ga peduli gue aneh, dia ga peduli gue gendut dan dia ga peduli semua kekurangan gue. Namun pada akhirnya gue terjepit keadaan dan gue melepaskan dia, karena dia harus bahagia. Namanya Poliakrilat.
Dulu, gue sama poliakrilat pernah pacaran. Saat orang-orang tau kalo kita pacaran, satu sekolah geger. Mungkin mereka berpikir "Kok bisa yah bayi gorila mendapatkan cewe secantik itu?". Tapi gue ga ambil pusing, toh dia pacar gue. Semasa pacaran, gue ga pernah membelikan dia yg lebay-lebay kaya kalung,cincin, boneka atau rumah mewah senilai 4 milyar. Gue cukup mencintai dia dengan sederhana dan let it flow. Semasa pacaran juga gue ga manggil mamah-papah. Waktu itu gue berpikiran bahwa panggilan sayang seperti beb-bib, mamah-papah atau mimih-pipis itu tidak menjamin rasa sayang, terlebih karena gue pernah gagal. Waktu itu, saat gue pacaran sama poliakrilat, cukup dengan panggilan aku-kamu, namun masing-masing dari kita tau kalo kita saling mencintai. Itu aja udah cukup.
Gue sangat menghormati dia sebagai wanita. Terlebih dia punya jabatan di salah satu organisasi masjid. Menyentuh pun paling saat salaman doang. Foto berdua pun ga ada. Gue pernah minta foto bareng, tapi dia bilang kalo di foto berdua sama bukan muhrim itu ga boleh. Boom. Gue malu banget. Akhirnya gue foto berdua sama rumput yg bergoyang dumang. Haha.
Hal yg paling berkesan buat gue adalah ketika gue memberi dia coklat beng-beng. Jadi waktu itu ada acara nginep di sekolah, terus dari siang gue beli coklat itu, gue udah niat banget mau ngasih sama dia. Pas malem, gue papasan sama dia pas lagi mau solat, gue kasih beng-beng itu dengan dialog yg agak kacau. Soalnya gue gugup. Tapi, di beri beng-beng pun dia bahagia. Karena mungkin, waktu itu, gue emang spesial buat dia. Dan dia tidak melihat apa yg gue kasih, tapi dia melihat ketulusan yg terasa dari setiap rasa manis yg dia kunyah di coklat itu.
Gue juga pernah masakin nasi goreng buat dia sebagai bekal dia di sekolah. Dia bilang nasi goreng gue enak. Gue gatau itu jujur apa boong. Yang penting, dengan dia bilang enak aja gue udah seneng. Lalu besoknya dia bikinin gue jelly. Gue abisin sama air-airnya. Enak banget. Gue suka gaya pacaran gue waktu itu, gak ribet dan kita bisa bahagia dengan hal-hal sederhana. Asik.
Gue ga bisa ngebeliin dia hal-hal yg luar biasa kaya sepatu, boneka, jajanin, ngajak ke mall, atau apapun. Soalnya gue ga mungkin minta sama orang tua. Bekal ke sekolah aja pas-pasan. Sama kaya muka, pas-pasan.
Dari dulu sampe sekarang gue selalu ngiri sama cowo yg bisa beliin ini dan itu. Si cewenya jadi makin sayang sama si cowo. Gue ga bisa kaya gitu. Satu-satunya modal yg gue punya untuk pacaran adalah gue selalu punya ide untuk beda dari cowo lain. Hahaapasih.
Lama-kelamaan, seperti kebanyakan sebuah hubungan, gue putus sama dia. Gue yg mutusin. Gue ga bisa liat dia ngeluh dan menderita karena gue. Dia pantas mendapatkan yg lebih bisa ngertiin dia daripada gue. Lalu, dia nangis. Semua orang di sekolah menghakimi gue. Semenjak itu, gue udah sukses jadi cowo brengsek. Asiiik.
Oke itu ceritanya.
Disini gue bukan bermaksud untuk mengungkit-ungkit masa lalu. Gue udah ga ada perasaan apa-apa sama dia. Kita putus secara baik-baik dan sampe sekarang masih temenan. Semenjak putus dari dia gue ga pernah pacaran lagi, lebih tepatnya gak laku. Haha. Mungkin pandangan teman-temannya yg menilai kalo gue ini cowo brengsek dan memang iya.
Gue menemukan kolerasi antara film the fault in our stars dan kita yg masih pacaran dulu. Gue dan dia sama kaya hazel dan augustus. Kita sama-sama saling menerima dan berjalan begitu saja untuk saling membahagiakan. Let it flow.
Sekarang gue udah hampir 3 tahun jomblo dan gue ga merasa terganggu dengan itu. Namun terkadang, disaat sakit seperti ini, sisi kemanusiawian gue ngerasa butuh perhatian. Haha. Jijik banget sih gue.
Tapi pada akhirnya, seperti biasa, gue harus menyembuhkan segala luka sendirian.
Selamat sore gerimis yg deras.
Sore ini gue agak ga enak badan, maklum lah faktor usia. Minggu ini adalah minggu kampret yg nyebelin dala hidup gue. Flu. Hidung tersumbat. Kunci kosan ketinggalan di tasik. Belum ngerjain gamtek. Kartu praktek fisika ilang. Laporan masih numpuk dan ada rindu yg masih tertahan. Susah ya jadi mahasiswa, mending jadi iron man. Enak bisa terbang.
Btw gue mau ngucapin selamat menempuh hidup baru buat Anita sama kang Irpan. Semoga jadi keluarga berencana. Amin.
Hari ini gue mengesampingkan semua tugas untuk nulis di blog. Karena nulis lebih asik daripada ngerjain tugas. Kalo ngerjain tugas, gue bisa ngeboongin dosen demi nilai bagus, misalnya nyontek punya temen atau nyari di internet lalu di klaim bahwa makalah itu punya kita. Tapi kalo nulis, meskipun ga ada yg menilai, gue ngga bisa boong, gue harus jujur pada diri sendiri. Karena menulis tidak terikat oleh dosen,sains,nilai dan administrasi yg ribet. Nulis itu terikat oleh hati dan gue ga bakal bisa membohongi hati gue sendiri. Asik.
Semalem gue baru aja nonton film the fault in our stars. Itu awesome. Jadi film ini tentang dua orang yg menderita penyakit kanker yg saling mencintai. Mereka saling support dan saling mendo'akan. Hal yg paling gue inget dalam film ini adalah saat augustus meninggal. Hazel mengatakan, saat dirinya di suruh memberi angka pada rasa sakit akibat kanker yg diidapnya, dia selalu menjawab 9. Karena dia menyimpan angka 10 untuk rasa sakit yg lebih menyakitkan dari menahan sakit kanker, yaitu kehilangan seseorang yg dia sayangi. Seharusnya film ini di tonton sama cewe-cewe cantik yg suka nyari cowo ganteng. Film itu mengajarkan bahwa saat kita mencintai, kita tidak perlu bersusah mencari dan menjadi sempurna, cukup jadi diri sendiri dan let it flow.
Film ini mengajarkan bagaimana kita bahagia dengan segala keterbatasan. Mereka tidak memikirkan tentang kematian, karena sudah di vonis oleh dokter, namun mereka lebih memikirkan bagaimana membahagiakan pasangan di waktu-waktu terakhir yg mereka punya. Tidak seperti kita yg normal. kita justru lebih banyak sibuk mementingkan ego ketimbang membahagiakan pasangan. Itu karena kita tidak tau kapan akan mati. Kita menebak-nebak kapan kita mati, mungkin masih lama atau mungkin besok Saat itu tiba, kita menyesal karena sudah tidak membahagiakan orang yg kita sayang. Akhirnya gue sadar, ternyata menebak-nebak kematian lebih menakutkan daripada kematian yg sudah di prediksikan. Ketidakpastian itu lebih menyeramkan.
Terlebih kalo misalkan sekarang gue punya pacar. Selain takut mati karena belum punya cukup bekal, gue juga takut mati disaat dia sedang kecewa karena gue.
Oke. Skip.
Gue ga akan membahas tentang kematian, tapi gue akan membahas cinta yg sesederhana mereka saling mencintai. Gue adalah orang yg ga punya banyak mantan. Jadi pengalaman cinta gue sedikit. Tapi ada satu cewe yg pernah jadi pacar gue dan dia adalah cewe yg paling nerima gue apa adanya. Dia ga peduli gue aneh, dia ga peduli gue gendut dan dia ga peduli semua kekurangan gue. Namun pada akhirnya gue terjepit keadaan dan gue melepaskan dia, karena dia harus bahagia. Namanya Poliakrilat.
Dulu, gue sama poliakrilat pernah pacaran. Saat orang-orang tau kalo kita pacaran, satu sekolah geger. Mungkin mereka berpikir "Kok bisa yah bayi gorila mendapatkan cewe secantik itu?". Tapi gue ga ambil pusing, toh dia pacar gue. Semasa pacaran, gue ga pernah membelikan dia yg lebay-lebay kaya kalung,cincin, boneka atau rumah mewah senilai 4 milyar. Gue cukup mencintai dia dengan sederhana dan let it flow. Semasa pacaran juga gue ga manggil mamah-papah. Waktu itu gue berpikiran bahwa panggilan sayang seperti beb-bib, mamah-papah atau mimih-pipis itu tidak menjamin rasa sayang, terlebih karena gue pernah gagal. Waktu itu, saat gue pacaran sama poliakrilat, cukup dengan panggilan aku-kamu, namun masing-masing dari kita tau kalo kita saling mencintai. Itu aja udah cukup.
Gue sangat menghormati dia sebagai wanita. Terlebih dia punya jabatan di salah satu organisasi masjid. Menyentuh pun paling saat salaman doang. Foto berdua pun ga ada. Gue pernah minta foto bareng, tapi dia bilang kalo di foto berdua sama bukan muhrim itu ga boleh. Boom. Gue malu banget. Akhirnya gue foto berdua sama rumput yg bergoyang dumang. Haha.
Hal yg paling berkesan buat gue adalah ketika gue memberi dia coklat beng-beng. Jadi waktu itu ada acara nginep di sekolah, terus dari siang gue beli coklat itu, gue udah niat banget mau ngasih sama dia. Pas malem, gue papasan sama dia pas lagi mau solat, gue kasih beng-beng itu dengan dialog yg agak kacau. Soalnya gue gugup. Tapi, di beri beng-beng pun dia bahagia. Karena mungkin, waktu itu, gue emang spesial buat dia. Dan dia tidak melihat apa yg gue kasih, tapi dia melihat ketulusan yg terasa dari setiap rasa manis yg dia kunyah di coklat itu.
Gue juga pernah masakin nasi goreng buat dia sebagai bekal dia di sekolah. Dia bilang nasi goreng gue enak. Gue gatau itu jujur apa boong. Yang penting, dengan dia bilang enak aja gue udah seneng. Lalu besoknya dia bikinin gue jelly. Gue abisin sama air-airnya. Enak banget. Gue suka gaya pacaran gue waktu itu, gak ribet dan kita bisa bahagia dengan hal-hal sederhana. Asik.
Gue ga bisa ngebeliin dia hal-hal yg luar biasa kaya sepatu, boneka, jajanin, ngajak ke mall, atau apapun. Soalnya gue ga mungkin minta sama orang tua. Bekal ke sekolah aja pas-pasan. Sama kaya muka, pas-pasan.
Dari dulu sampe sekarang gue selalu ngiri sama cowo yg bisa beliin ini dan itu. Si cewenya jadi makin sayang sama si cowo. Gue ga bisa kaya gitu. Satu-satunya modal yg gue punya untuk pacaran adalah gue selalu punya ide untuk beda dari cowo lain. Hahaapasih.
Lama-kelamaan, seperti kebanyakan sebuah hubungan, gue putus sama dia. Gue yg mutusin. Gue ga bisa liat dia ngeluh dan menderita karena gue. Dia pantas mendapatkan yg lebih bisa ngertiin dia daripada gue. Lalu, dia nangis. Semua orang di sekolah menghakimi gue. Semenjak itu, gue udah sukses jadi cowo brengsek. Asiiik.
Oke itu ceritanya.
Disini gue bukan bermaksud untuk mengungkit-ungkit masa lalu. Gue udah ga ada perasaan apa-apa sama dia. Kita putus secara baik-baik dan sampe sekarang masih temenan. Semenjak putus dari dia gue ga pernah pacaran lagi, lebih tepatnya gak laku. Haha. Mungkin pandangan teman-temannya yg menilai kalo gue ini cowo brengsek dan memang iya.
Gue menemukan kolerasi antara film the fault in our stars dan kita yg masih pacaran dulu. Gue dan dia sama kaya hazel dan augustus. Kita sama-sama saling menerima dan berjalan begitu saja untuk saling membahagiakan. Let it flow.
Sekarang gue udah hampir 3 tahun jomblo dan gue ga merasa terganggu dengan itu. Namun terkadang, disaat sakit seperti ini, sisi kemanusiawian gue ngerasa butuh perhatian. Haha. Jijik banget sih gue.
Tapi pada akhirnya, seperti biasa, gue harus menyembuhkan segala luka sendirian.
Selamat sore gerimis yg deras.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar