Senin, 13 Juni 2016

Kopi toraja french Press : sekitar 2001/2002

Malam ini aku sedang berada di terminal kopi, di temani dengan secangkir toraja dengan cara french press.

Sekarang aku jadi penikmat kopi. Aku mencoba menyelami kehidupan dalam kopi. Mencari sebuah falsafah dari terciptanya minuman ajaib ini. Ternyata keajaiban tidak selalu tentang kamu.

Dalam pahitnya kopi aku menemukan banyak cerita kehidupan yang entah bagaimana caranya itu tiba-tiba muncul dan memaniskan pahitnya.

Dalam pahitnya kopi, aku menemukan diriku yang sedang dalam keadaan serba sederhana. Dimana ayah yang waktu itu seorang penjual fried chicken, sementara aku adalah seorang siswa SDN Parakannyasag 2 yang baru berumur 7 tahun, menemani ayahnya setiap shubuh pergi ke pasar yang jauh karena dijangkau dengan jalan kaki. Kami jalan kaki menyusuri rel kereta, waktu itu kami tidak mempunya sepeda motor. Bahkan sepeda pun kami tidak punya.

Setiap shubuh ayah membawa satu ember kosong ke pasar dan pulang membawa 5 kilogram ayam. Sekitar jam 6 pagi kami pulang dari pasar. Kadang, jika malamnya hujan turun, besok paginya, saat berjalan di rel, sekitar jam setengah 7 aku dapat melihat pelangi menjulang indah di perjalanan dan aku berjalan berdua bersama ayah. Ayah hebat yang sedang membawa ayam potong.
Sebelum sekolah aku sarapan dulu di kamar kosan tempat keluarga kecil kami tinggal. Lalu jam 7 aku mandi dan berangkat sekolah dengan bekal 300 rupiah. Waktu itu sangat berharga sekali uang 300 ku itu. 300 ku itu aku pegang erat-erat, 300 ku itu sangat berharga. Bukan masalah nominal, namun nilai dari uang 300 ku itu.

Oh iya, waktu itu aku,ayah dan mamah ngekost di sebuah kamar yang berukuran 6x4m. Dengan 2 kasur dan peralatan masak ada di dapur bersama. Nasi dan lauk pauknya di simpan di dekat pintu, diantara kasur ada sebuah lemari tempat baju-baju kami di simpan. Sebuah ruangan yang sangat sederhana.

Aku yang gendut dengan tas teletubies warna hijau berjalan menuju sekolah yang hanya berjarak beberapa meter dari tempat kami tinggal.

Waktu itu aku sungguh anak yang manis dan menggemaskan. Aku pintar dan lucu. Sampai tetangga sekosan pun ingin mengangkatku sebagai anak. Namun, aku tidak mau.

Siangnya aku pulang lalu makan dengan fried chicken. Sambil bantu ayah jualan. Aku sangat suka kulit goreng waktu itu. Harganya 250 rupiah. Ayahku berjualan di depan rumah kosong di leuwidahu, persis di pinggir rumah tempat kami tinggal.
Aku tidak malu punya ayah seorang penjual fried chicken. Aku bangga padanya. Bahkan aku selalu ajak teman-temanku yang waktu itu uang jajannya hampir 3 kali lipat uang jajanku untuk mampir dan main denganku sambil berjualan fried chicken.

Alhamdulilah, pembelinya ramai. Hampir setiap hari selalu saja habis. Jika bersisa pun, ayamnya di bekal ke rumah untuk makan malam kami.

Sepulang sekolah, aku istirahat dulu di tempat ayah jualan. Lalu jam 2 aku berangkat sekolah agama. Aku tidak tau apa yang aku pelajari waktu itu. Yang aku ingat waktu itu hanyalah main saja. Di kelas lari-lari, loncat-loncat di meja. sampai pernah waktu itu temanku, namanya santi, dia sedang loncat-loncat dari meja ke meja, terus gak sengaja kakinya mengenai pundakku sampai ia jatuh dari meja dan kepalanya benjol. Haha.

Aku pulang sekitar jam 4 sore. Lalu main lagi di tempat ayah jualan. Kebetulan rumah kosong itu halamannya luas. Jadi disitu aku main-main sama teman-teman. Main ucing baledog, ucing sumput dan permainan tradisional lainnya. Kadang kalau haus, aku suka minta uang ke ayah untuk jajan minuman dingin di bi okoh. Tetangga kami juga.

Lalu ketika magribh tiba, aku bersama teman-teman yang lain mengaji ke tetangga depan rumah. Belajar fiqih,akidah ahlaq,tajwid dan lain-lain. Sampai selepas isya, aku langsung pulang untuk makan malam. Biasanya kami makan malam dengan nasi hangat dan sambel oncom buatan mamah yang enak banget. Kadang juga sama ayam sisa jualan. Apapun aku makan waktu itu. Aku memang berbakat jadi omnivora.

Setelah makan malam, mamah mengajarkan aku tentang pelajaran di sekolah, sesekali sambil mengerjakan PR. Mamah yg mengajarkan aku. Terkadang aku kena marahnya karena aku malah tidur-tiduran. Lalu tidur beneran. Namun mamah, yang waktu itu menikahi seorang lelaki penjual ayam yang selalu berjuang demi keluarganya, sedikitpun tidak pernah ada keluh kesah. Ia menjalani kehidupannya dengan sangat ikhlas. Ia menjadi perempuan tersholehah yang pernah aku kenal selama ini. Dan aku adalah anaknya.

Selama sekitar 2 tahun kami menetap disana, sampai akhirnya aku pindah ke leuwidahu kaler, ngontrak ke rumah yg lebih besar. Dan waktu itu ayahku pindah pekerjaan jadi tukang anter koran keliling ...

Emmhhh .. akhirnya aku menemukan gula. Kopi pahitku sekarang sudah agak manis seiring dengan cerita masa laluku yang juga menjadi manis saat di kenang.

Hanya itu yang bisa aku cerita dari secangkir kopi toraja ini.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar