Minggu, 03 Januari 2016

Dia


Sekarang aku sedang ada di kosan baru. Duduk sendirian di kamar dan mendengarkan lagu barasuara. 

Seharian aku sibuk mengangkut barang dari kosan lama yang sudah ku tinggali selama 1 tahun lebih ke kosan baru yang entah berapa lama aku akan disini.

Dengan perpindahan ini, aku ingin menceritakan banyak hal tentang dia.

Aku mernaruh secangkir kopi di sebelah kiriku, untuk jaga-jaga, seandainya di tengah tulisan aku lupa apakah aku masih mencintainya atau tidak, kopi ini bisa menjawabnya.

Dia. Sungguh aku berterimakasih pada tuhan karena telah membuat dia jatuh pada takdirku, takdir untuk bertemu dan akhirnya aku jatuh cinta. Perjalanannya sangat mudah, tiba-tiba saja perasaan ini ada. Aku tidak memesan apalagi sengaja mencari-cari agar aku bisa mencintainya. Cinta ini muncul seinstan ketika kalian memakan permen dan lalu terasa manis.

Aku jatuh pada setiap ayat-ayat senyumannya yang dia lemparkan pada semua orang. Aku sungguh-sungguh jatuh cinta padanya. Caranya merendahkan suara ketika sedang bicara denganku, sungguh sangat menawan. Bicara yang penuh dengan kebahagiaan.

Sungguh aku sangat mencintainya, aku seperti seorang adam yang jatuh cinta pada hawa. Hari-hariku menjadi indah setelah mencintainya, mata kuliah di empat dinding kelas yang sangat membosankan menjadi taman bunga yang ditiup angin musim semi. SC yang menjenuhkan menjadi sangat mengasyikan karenanya. Dia yang menaburkan bunga-bunga di guguran-guguran hatiku.

Aku memulai hari dengannya dan mengakhiri hari dengannya pula. Setiap hari aku sempatkan menulis beberapa kalimat hanya untuk menceritakannya. Lalu menutup mata dengan do’a yang juga ada namanya.
Lantas apakah dia mencintaiku?

Tidak. Dia tidak mencintaiku.

Dia mencintai seseorang yang lain. Dia mencintai malam yang berhiaskan lampu-lampu romantis. Dia mencintai bulan. Dia mencintai freeport. Dia mencintai riuh penonton di stadion. Dia mencintai minyak di perut bumi. Dia mencintai pisau. Dia mencintai sebuah majalah. Dia mencintai jarak tempuh yg cepat. Dia mencintai gombalan. Dia mencintai kapas berduri. Dia mencintai musim durian di musim dingin. Dia mencintai orang-orangan sawah. Dia mencintai kedinginan.

Sementara aku hanya air yang terlarut manis garam. Putihnya kecap. Jingganya darah. Ramahnya polisi pertigaan cicadas dan hal-hal lain yang lebih buruk dari itu.

Namun, aku sadar. Hati itu bukan masalah pantas tidak pantas. Tapi nyaman tidak nyaman.

Namun, aku sadar. Seharusnya aku mampu membeli, bukan hanya bermimpi. Sekarang, aku hanya sedang tidak punya dinar yg cukup dan itu membuat aku tidak bisa membeli kesempatan. Esok atau lusa, jika ilmuku sudah cukup untuk memapankan, akan ku beli kesempatan itu dengan cara yg sama, seperti yang sedang aku pelajari dari seseorang yang dia cintai sekarang. Akan aku lakukan persis.

Bedanya mungkin hanya pada aku tidak akan sia-siakan orang itu.

Karena tulus ini Cuma aku yang bisa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar