Sekarang aku sedang ada di kosan baru. Duduk sendirian di
kamar dan mendengarkan lagu barasuara.
Seharian aku sibuk mengangkut barang
dari kosan lama yang sudah ku tinggali selama 1 tahun lebih ke kosan baru yang
entah berapa lama aku akan disini.
Dengan perpindahan ini, aku ingin menceritakan banyak hal
tentang dia.
Aku mernaruh secangkir kopi di sebelah kiriku, untuk
jaga-jaga, seandainya di tengah tulisan aku lupa apakah aku masih mencintainya
atau tidak, kopi ini bisa menjawabnya.
Dia. Sungguh aku berterimakasih pada tuhan karena telah
membuat dia jatuh pada takdirku, takdir untuk bertemu dan akhirnya aku jatuh
cinta. Perjalanannya sangat mudah, tiba-tiba saja perasaan ini ada. Aku tidak
memesan apalagi sengaja mencari-cari agar aku bisa mencintainya. Cinta ini
muncul seinstan ketika kalian memakan permen dan lalu terasa manis.
Aku jatuh pada setiap ayat-ayat senyumannya yang dia
lemparkan pada semua orang. Aku sungguh-sungguh jatuh cinta padanya. Caranya
merendahkan suara ketika sedang bicara denganku, sungguh sangat menawan. Bicara
yang penuh dengan kebahagiaan.
Sungguh aku sangat mencintainya, aku seperti seorang adam
yang jatuh cinta pada hawa. Hari-hariku menjadi indah setelah mencintainya,
mata kuliah di empat dinding kelas yang sangat membosankan menjadi taman bunga
yang ditiup angin musim semi. SC yang menjenuhkan menjadi sangat mengasyikan
karenanya. Dia yang menaburkan bunga-bunga di guguran-guguran hatiku.
Aku memulai hari dengannya dan mengakhiri hari dengannya
pula. Setiap hari aku sempatkan menulis beberapa kalimat hanya untuk
menceritakannya. Lalu menutup mata dengan do’a yang juga ada namanya.
Lantas apakah dia mencintaiku?
Tidak. Dia tidak mencintaiku.
Dia mencintai seseorang yang lain. Dia mencintai malam yang
berhiaskan lampu-lampu romantis. Dia mencintai bulan. Dia mencintai freeport.
Dia mencintai riuh penonton di stadion. Dia mencintai minyak di perut bumi. Dia
mencintai pisau. Dia mencintai sebuah majalah. Dia mencintai jarak tempuh yg
cepat. Dia mencintai gombalan. Dia mencintai kapas berduri. Dia mencintai musim
durian di musim dingin. Dia mencintai orang-orangan sawah. Dia mencintai
kedinginan.
Sementara aku hanya air yang terlarut manis garam. Putihnya
kecap. Jingganya darah. Ramahnya polisi pertigaan cicadas dan hal-hal lain yang
lebih buruk dari itu.
Namun, aku sadar. Hati itu bukan masalah pantas tidak
pantas. Tapi nyaman tidak nyaman.
Namun, aku sadar. Seharusnya aku mampu membeli, bukan hanya
bermimpi. Sekarang, aku hanya sedang tidak punya dinar yg cukup dan itu membuat
aku tidak bisa membeli kesempatan. Esok atau lusa, jika ilmuku sudah cukup
untuk memapankan, akan ku beli kesempatan itu dengan cara yg sama, seperti yang
sedang aku pelajari dari seseorang yang dia cintai sekarang. Akan aku lakukan
persis.
Bedanya mungkin hanya pada aku tidak akan sia-siakan orang
itu.
Karena tulus ini Cuma aku yang bisa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar