Senin, 08 Februari 2016

Kipas Angin


Selamat malam. Kamu. Dia. Mereka dan Tata Surya.

Seperti biasa, aku sedang duduk di lantai tak berkursi. Aku menyeduh secangkir teh dengan satu sendok gula yg dilarutkan di dalamnya. Sejenak, asap tipis mengepul dari cangkir. Aku diamkan beberapa menit lalu aku minum. Mhhh manis, namun panas. Seperti rasa yang tertinggal.

Aku berusaha sesederhana mungkin malam ini. Membuat segalanya menjadi terlihat simple. Namun aku tak bisa. Aku tak bisa menjadi sederhana. Segalanya menjadi terasa sangat kompleks bagiku. Setelah kau-yang-merupakan-hal-tersederhana-dari-bagian-hatiku menjadi biasa saja.

Di hadapanku ada kipas angin,

aku jadi berputar-putar. Searah dengan putarannya dan menjadi pusing.  Aku mencoba terus bertahan dalam putarannya. Berharap aku bisa menjadi lebih baik setelah merasakan putarannya. Aku harap putaran kipas angin ini bisa memberikan efek yang sama seperti kicir-kicir di dufan. Setelah berhenti, aku jadi ketawa. Namun kipas tidak berhenti-berhenti. Aku terus berputar. Aku mual dan aku pergi dari baling-balingnya.

Lalu aku masuk ke dalam jaringan listriknya dan mencoba menjadi tombol di kipas itu. Disini aku merasa tenang. Tombol ketiga yang paling cepat aku diami. Namun, lama kelamaan aku merasa jenuh. Tidak terjadi apa-apa disini. Aku pikir ini hal yang tidak asyik. Jenuh. Tidak ada pergerakan apapun.

Aku menyadari bahwa aku harus mencari sesuatu yang mampu membuatku berhenti mencari.

Aku akan mencarimu.

Lalu aku masuk ke aliran listrik,masuk ke dalam jaringan listrik kota dan hendak mencari alamat rumahmu. Aku bertanya pada data di komputer dinas kependudukan yang sedang di operasikan oleh seorang pekerja honorer yang sedang lembur. Dia memberiku sebuah alamat, lalu aku bergegas menuju kesana. Ternyata jalan dalam jaringan ini sungguh rumit.

Aku nyasar beberapa kali.

Aku nyasar ke sebuah tv di pasar yang sedang di tonton banyak orang. Disana banyak orang yang tidak seberuntung aku. Kuli-kuli yang lelah dengan tangan kotor bekas tepung dan beras sedang menikmati santap malamnya. Mungkin ini makan kedua mereka di hari ini, setelah sarapan. Wajah-wajah yang sebenarnya ingin pulang membawa mainan ke rumah saat di tanya bapa bawa apa oleh anaknya,namun tak bisa. Syukurlah mereka bukan bajingan selayaknya koruptor yang tidak merasa cukup.

Aku melihat ibu-ibu gendut penjual nasi masih setia tersenyum dalam wajah yang kasar dalam kerudungnya yg tanpa make up. Aku taksir dia 40 tahunan dan beranak dua. Aku melihat anak yang pertama membantu ibunya mencuci piring di dapur yang kotor dan si bungsu sedang tidur dengan pulasnya di bawah kolong meja yang atasnya adalah makanan semua. Lalat-lalat liar sedang mengerumuninya.  Mungkin juga dia janda, karena aku tidak melihat laki-laki disampingnya. Mungkin mungkin dia di tinggal lari suaminya. Mungkin juga suaminya adalah TKI dan belum pulang sampai 6 kali lebaran. Lebih kasar dari bang toyib. 

Lalu dia seperti izin kepada para tamu dan pergi ke dapur meninggalkan warungnya. Aku pikir kemana dia? Kok dia bisa-bisanya meninggalkan warung yang sedang ramai. Lalu dia kembali dengan tangan yang basah. Ah aku pikir dia sudah mencuci piring. Lalu dia mengeluarkan mukena dan sajadah, lalu di amparkannya sajadah itu dengan beralas kardus. Dia solat Isya dengan khusyu. Aku terenyuh di balik layar TV. Miskin tidak menjadikan seseorang lupa pada-Nya. Aku melihat pada diriku. Jika aku di posisinya, aku tidak akan setangguh itu. Dalam hati aku bergumam agar ibu itu selalu di berikan rezeki dan ketabahan seluas semesta.

Aku kembali mencari rumahmu.

Lalu aku sampai pada sebuah telepon yang tersambung charger. Aku melihat sekitar lewat kamera HP dan layarnya. Aku melihat tirai putih,kasur dan 4 orang yang terdiri atas 3 orang laki-laki dan 1 orang perempuan yang berhalis tebal. Ternyata aku sedang ada di rumah sakit. Hendak, keluar dari situ, namun tiba-tiba speaker di HP itu menahanku, lalu aku mendengar lafadz alloh di kumandangkan dengan di barengi dengan tangis yang menderu-deru. Rupanya seorang sedang dalam sakaratul mautnya. Namun dia tidak juga meninggal. Lalu HP yang aku diami tercabut dan di bawa keluar, aku sempat panik karena aku takut terjebak disini, namun data dalam hp itu memberitahuku bahwa sebentar lagi akan ada panggilan. Aku harus mendengarkan katanya.

Dalam panggilan itu, aku mendengarkan dua percakapan antara seorang perempuan dengan seorang laki-laki. Sepertinya percakapan antara cucu dan neneknya. Aku mendengar di balik tangis laki-laki itu agar neneknya memaafkan segala kesalahan ayahnya yg sedang sekarat, dia bilang bahwa nenek harus memaafkan ayahnya agar ayahnya mampu pergi dengan tenang. Rupanya, ada air mata pedih seorang ibu yang mengganjal sakaratul mautnya. Lalu aku mendengar kata iya dan tangis seorang wanita yang memecah setelahnya.

Lalu telepon di tutup dan satu panggilan lagi. Ada seorang wanita lagi yang menjawab di seberang sana. Anak laki-laki ini memanggilnya ibu. Aku bingung apa yang terjadi. Siapa perempuan tadi?. Lalu hal yang sama di ucapkan. Dia bilang bahwa ibu lupakan saja perselingkuhan ayah dan maafkan dia. Lalu beberapa saat ibu itu diam dan terdengar isak-isak tangis di seberang telepon. Rupanya ada sakit hati seorang perempuan yang belum selesai  di tinggalkan laki-laki yang sedang dalam sakaratul maut ini. Lalu ibunya menjawab iya. Nadanya sangat ikhlas dan lembut. Ibunya memberitahukan bahwa besok dia akan melayad. 

Telepon di tutup. Lalu anak laki-laki ini kembali ke kamar. Suasana sudah hening dipenuhi dengan tangis yang tak bersuara. Tangis yang sangat dalam. Lalu aku memaksa sistem untuk me-lowbat-kan HP. Akhirnya, HP di charge dan aku kembali bisa mencarimu. Sebelum pergi, aku mendo’akan jenazah agar di terima di dunia dan akhirat.

Aku kembali mencari rumahmu.

Akhirnya, setelah nyasar sana-sini. Aku tiba di rumahmu. Aku masuk ke dalam HPmu yang sedang di charge dan aku melihatmu, dambaanku, yang sedang tertidur pulas. Bibir yang selalu tersenyum sekarang berubah jadi tanpa ekspresi. Aku memperhatikan setiap detilmu dan bersyukur karena aku belum berhenti bersyukur dapat berkenalan denganmu meskipun aku sudah menjauh.

Aku senang sudah sampai rumah ini. Aku sudah sampai pada dirimu dalam bentuk diriku yang fiksi. Ternyata, proses menemukanmu mengajarkanku banyak hal.

Aku menjelajahi isi HPmu dan meninggalkan sebuah pesan di note HPmu.

“Duhai dambaan, jagalah hatimu untuk yang pantas. Jangan terlalu terburu-buru, cinta bukan motor GP. Perjalananku kesini, membuatku semakin tau dan mungkin sebentar lagi bisa pantas. Semoga kelak kau adalah perhiasan duniaku, salah satu dari hal yang membuat sakaratul mautku menjadi mudah. Selamat tidur.”

Lalu aku pulang kembali ke kosan. Duduk di depan laptop,menghabiskan teh yang sudah dingin dan menyelesaikan kalimat terakhir ini dengan pelajaran hidup yang didapat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar