Rabu, 11 November 2015

Kaki Berlumpur


            
Malam ini, trisandi gendut sedang tengkurap di depan laptopnya sambil di temani secangkir kopi dan sedikit rasa rindu pada masa kecilnya. Betapa lucunya di sela kehidupannya yang sekarang dia mengingat saat-saat dimana dia harus bermain bola sambil telanjang dada, bermain lumpur di sawah, mengejar layang-layang, memancing dan membakar ikan di tengah sawah, berenang di kali dan masih banyak lagi yang mungkin nanti di paragraf berikutnya akan di sebutkan.

Entah apa yang membuatnya tiba-tiba rindu, namun karena kerinduannya itu, dia jadi punya inspirasi untuk di bagi kepada kaum pembaca. Sekarang izinkan dia untuk menceritakan salah satu kisah dari sandi kecil yang sungguh menggemaskan.

Waktu itu, sekitar tahun 2005, gemuruh angin dari sebelah barat menerpa wajahnya, seiring dengan kaki mungil berlari dengan kecepatan seadanya mengejar layangan yang tak bertuan. Seakan kaki punya mata sendiri, dia tidak melihat ke bawah, pandangannya fokus mencari benang tipis yang terselip diantara langit jam 5 sore waktu itu. Meskipun dia yakin bahwa kecepatan larinya tidak secepat teman-temannya, namun dia tetap berlari, seakan layangan itu harus dia kejar juga, seakan dia ingin tau sampai sejauh mana ia harus mengejar dan sampai sejauh mana dia harus berhenti.

Sampai pada akhirnya, layangan yang dia kejar harus menjadi milik orang lain. Tapi dia tetap tersenyum. Setidaknya, setelah melihat ke belakang, ternyata dia sudah sangat jauh dari tempat pertama dia memulai dan pemandangan di tempatnya sekarang berdiri lebih indah dari yang sebelumnya.

Dia duduk sejenak bersama teman-temannya – yang salah satunya sudah membawa layangan yg dia kejar. Mereka mengobrol riang di bawah matahari sore yang teduh dan bunyi puji-pujian kepada sang pencipta dari speaker masjid penduduk sekitar. Mereka membicarakan banyak hal. Mulai dari pa engkon tukang bubur sekitaran rumah, pa hamzah tukang rental PS, keanehan guru di sekolah serta beberapa wanita yang sedang di cinta monyeti oleh mereka.

Lalu, tak terasa adzan magribh berkumandang. Dia panik, karena sudah pasti ibu di rumah sedang menunggu dengan kemarahannya. “Begitulah, khawatirnya seorang ibu kadang terasa berlebihan. Terasa seperti sebuah kekangan” katanya dalam hati waktu itu.

Dia begegas berlari dengan baju basah dan kaki masih berlumpur. Dia datang ke rumah. Pintu sudah di kunci. Dia berusaha mengetuk pintu, sambil berteriak “maaah maaah buka pantona”. Tidak ada sahutan dari orang rumah. Dia menangis. Lalu suara ‘klek’ dari pintu tanda kunci di buka.

“Wayah kieu karek balik, nanaonan wae atuh. Kumaha lamun di culik kelong wewe. Geura mandi ! langsung solat terus ngaji !” Ibunya berkata. Kasih sayang yang tampak seperti kekesalan.

Lalu dia menunaikan 3 rokaatnya di atas sajadah, beratapkan rumah kontrakan yang nyaman untuk tempat kita berteduh. Bergegas ke masjid dan ikut ngaji bersama pak eman, guru ngaji sekaligus ketua RT. Di masjid, selayaknya bocah kelas 5 SD, dia berari kesana kemari. Seolah masjid adalah lapangan sepakbola, teriak-teriak dan saling kejar-kejaran bersama temannya. Pak Eman langsung menghukumnya dengan satu cubitan kecil yang membuat kulit membiru. “aduhh nyeri paa” dia mengeluh. “matakna cicing!” pak eman pun tak mau kalah.

Lalu sandi kecil pun terdiam. Menurut dan mendengarkan teman-teman yang lain membaca iqro 5. Namun, bagaimana pun dia adalah anak kecil. Dia izin keluar dan meneruskan permainannya di luar.

Waktu itu dia bermain ‘popolisian’. Permainan yang sederhana namun mampu membuatnya bahagia. Cara bermainnya adalah kejar-kejaran. Ada yang menjadi polisi dan ada yang menjadi maling. Dengan sistem pemisahan yang sederhana juga, hanya dengan tangan mengepal dan di julurkan ke depan. Lalu salah seorang dari kita mendendangkan nada ‘po po po menjadi polisi’, dan yg terpilih jadi yang kelompok yg mengejar. ‘ma ma ma menjadi maling’, dan yang terpilih menjadi kelompok yg di kejar. Lalu polisi menghitung dari 1 sampai 10 untuk membiarkan maling lari, lalu mulailah mereka saling mengejar. Kebetulan dia jadi malingnya.

Meskipun adzan isya berkumandang, namun dia masih terus bermain. Hingga akhirnya semua sudah tertangkap dan kita berkumpul lalu ngobrol. Seperti biasa, pembicaraan kita tidak jauh tentang khayalan dan ke-so-tau-an seorang anak kecil yang mungkin waktu itu terlihat keren.

Lalu satu persatu orang tua pun menjemput anaknya, begitupun ibunya. Dia datang sambil muka kesal dan di ‘ceramahi’ selama perjalanan pulang.

Sampai di rumah dia makan. Tidak mewah, hanya nasi hangat,sambel oncom dan ikan asin. Waktu itu, dia sangat menikmatinya.

 Lalu dia mengerjakan PR dengan ibunya. Waktu itu, bahkan dia tidak tahu apa itu Aurum, apa itu larutan, apa itu metamorfosis dan cara mengaplikasikan rumus phytagoras. Namun, ibu mengajarinya. Sehingga dia jadi tau.

Setelah belajar, dia tidak minum susu seperti kebanyakan anak lainnya. Dia hanya cukup membaca do’a dan tidur.

Dia adalah aku. Sungguh aku rindu masa kecilku.

Aku rindu saat mengejar layangan. Menatap ke langit yang berawan musim kemarau, melihat padi menguning di sejauh mata memandang, gunung kokoh berdiri di bawah langit, layang-layang tak tentu arah mengusir lelah anak-anak yg mengejarnya dan beberapa partikel oksigen yang berikatan dan bergerak menerpa wajah.

Berbeda dgn sekarang. Senjaku di penuhi oleh rapat dan latihan. Teman-temanku sudah sibuk dengan dunianya. Sawah tempat kita berlari sudah menjadi perumahan. Angin yang dulu sejuk, sekarang sudah jadi gersang. Dunia sudah berubah, aku tidak melihat lagi anak-anak yang bermain layang-layang. Mereka sibuk dengan TV dan gadget. Aku sudah tidak bisa lagi nostalgia. Layang-layangku sudah hilang, bersama generasinya.
           
Aku pun rindu saat di marahi pulang maghrib. Di kunci dari dalam, menangis untuk mendapat perhatian ibu, di suruh mandi, di suruh solat, di suruh ngaji dan dimasakkan masakan yg lezat.

Berbeda dengan sekarang. Aku jauh dari rumah. Pintu tak pernah terkunci untukku namun aku tidak pulang. Nasi hangat dan ikan asin dia masakkan namun aku tidak juga pulang. Ibu tidak pernah memarahi jika aku pulang maghrib lagi,bahkan tidak pulang 3 bulan pun dia tidak pernah memarahiku. Dia tidak lagi bisa memarahiku seperti dulu. Ibu yang dulu selalu kuat melakukan segalanya, sekarang jadi sering sakit-sakitan. Namun, tidak sedikit pun dia menunjukkannya saat aku pulang. Dia selalu terlihat baik-baik saja, meskipun di dadanya ada rasa sakit yang dia tahan. Dia tidak bisa marah lagi sekarang. dia berubah jadi sosok yang selalu sabar meskipun banyak aku repotkan. Semakin baik dia, semakin banyak ketakutanku.

Seharusnya dia sudah bisa bahagia, namun entah terbuat dari apa hatinya, dengan keadaan kami yg begini, kesabarannya tidak pernah habis. Rasanya seperti tak ada lagi wanita yg mampu sesabar dia.

Dia adalah ibuku. Dia adalah calon penghuni surga.

Aku senang jadi anak kecil yang nakal. Anak kecil yang pulang ke rumah dengan lumpur di kakinya. Namun apa daya, aku hidup di bumi yg memaksaku untuk terus tumbuh dan kau terus menua.

Aku ingin seperti dulu. 
Disini, tidak ada tempat senyaman rumah. 
Disini, tidak ada tempat senyaman dulu.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar