Malam ini,
trisandi gendut sedang tengkurap di depan laptopnya sambil di temani secangkir
kopi dan sedikit rasa rindu pada masa kecilnya. Betapa lucunya di sela kehidupannya
yang sekarang dia mengingat saat-saat dimana dia harus bermain bola sambil
telanjang dada, bermain lumpur di sawah, mengejar layang-layang, memancing dan
membakar ikan di tengah sawah, berenang di kali dan masih banyak lagi yang
mungkin nanti di paragraf berikutnya akan di sebutkan.
Entah apa
yang membuatnya tiba-tiba rindu, namun karena kerinduannya itu, dia jadi punya
inspirasi untuk di bagi kepada kaum pembaca. Sekarang izinkan dia untuk
menceritakan salah satu kisah dari sandi kecil yang sungguh menggemaskan.
Waktu itu,
sekitar tahun 2005, gemuruh angin dari sebelah barat menerpa wajahnya, seiring
dengan kaki mungil berlari dengan kecepatan seadanya mengejar layangan yang tak
bertuan. Seakan kaki punya mata sendiri, dia tidak melihat ke bawah,
pandangannya fokus mencari benang tipis yang terselip diantara langit jam 5
sore waktu itu. Meskipun dia yakin bahwa kecepatan larinya tidak secepat
teman-temannya, namun dia tetap berlari, seakan layangan itu harus dia kejar
juga, seakan dia ingin tau sampai sejauh mana ia harus mengejar dan sampai
sejauh mana dia harus berhenti.
Sampai pada
akhirnya, layangan yang dia kejar harus menjadi milik orang lain. Tapi dia
tetap tersenyum. Setidaknya, setelah melihat ke belakang, ternyata dia sudah
sangat jauh dari tempat pertama dia memulai dan pemandangan di tempatnya
sekarang berdiri lebih indah dari yang sebelumnya.
Dia duduk
sejenak bersama teman-temannya – yang salah satunya sudah membawa layangan yg
dia kejar. Mereka mengobrol riang di bawah matahari sore yang teduh dan bunyi
puji-pujian kepada sang pencipta dari speaker masjid penduduk sekitar. Mereka
membicarakan banyak hal. Mulai dari pa engkon tukang bubur sekitaran rumah, pa
hamzah tukang rental PS, keanehan guru di sekolah serta beberapa wanita yang sedang
di cinta monyeti oleh mereka.
Lalu, tak terasa adzan magribh berkumandang. Dia panik, karena sudah pasti ibu di rumah sedang menunggu dengan kemarahannya. “Begitulah, khawatirnya seorang ibu kadang terasa berlebihan. Terasa seperti sebuah kekangan” katanya dalam hati waktu itu.
Dia begegas berlari dengan baju basah dan kaki masih berlumpur. Dia datang ke rumah. Pintu sudah di kunci. Dia berusaha mengetuk pintu, sambil berteriak “maaah maaah buka pantona”. Tidak ada sahutan dari orang rumah. Dia menangis. Lalu suara ‘klek’ dari pintu tanda kunci di buka.
“Wayah kieu karek balik, nanaonan wae atuh. Kumaha lamun di
culik kelong wewe. Geura mandi ! langsung solat terus ngaji !” Ibunya berkata.
Kasih sayang yang tampak seperti kekesalan.
Lalu dia
menunaikan 3 rokaatnya di atas sajadah, beratapkan rumah kontrakan yang nyaman
untuk tempat kita berteduh. Bergegas ke masjid dan ikut ngaji bersama pak eman,
guru ngaji sekaligus ketua RT. Di masjid, selayaknya bocah kelas 5 SD, dia
berari kesana kemari. Seolah masjid adalah lapangan sepakbola, teriak-teriak
dan saling kejar-kejaran bersama temannya. Pak Eman langsung menghukumnya
dengan satu cubitan kecil yang membuat kulit membiru. “aduhh nyeri paa” dia
mengeluh. “matakna cicing!” pak eman pun tak mau kalah.
Lalu sandi
kecil pun terdiam. Menurut dan mendengarkan teman-teman yang lain membaca iqro
5. Namun, bagaimana pun dia adalah anak kecil. Dia izin keluar dan meneruskan
permainannya di luar.
Waktu itu
dia bermain ‘popolisian’. Permainan yang sederhana namun mampu membuatnya
bahagia. Cara bermainnya adalah kejar-kejaran. Ada yang menjadi polisi dan ada
yang menjadi maling. Dengan sistem pemisahan yang sederhana juga, hanya dengan
tangan mengepal dan di julurkan ke depan. Lalu salah seorang dari kita
mendendangkan nada ‘po po po menjadi polisi’, dan yg terpilih jadi yang
kelompok yg mengejar. ‘ma ma ma menjadi maling’, dan yang terpilih menjadi
kelompok yg di kejar. Lalu polisi menghitung dari 1 sampai 10 untuk membiarkan
maling lari, lalu mulailah mereka saling mengejar. Kebetulan dia jadi
malingnya.
Meskipun
adzan isya berkumandang, namun dia masih terus bermain. Hingga akhirnya semua
sudah tertangkap dan kita berkumpul lalu ngobrol. Seperti biasa, pembicaraan
kita tidak jauh tentang khayalan dan ke-so-tau-an seorang anak kecil yang
mungkin waktu itu terlihat keren.
Lalu satu
persatu orang tua pun menjemput anaknya, begitupun ibunya. Dia datang sambil
muka kesal dan di ‘ceramahi’ selama perjalanan pulang.
Sampai di
rumah dia makan. Tidak mewah, hanya nasi hangat,sambel oncom dan ikan asin. Waktu
itu, dia sangat menikmatinya.
Lalu dia
mengerjakan PR dengan ibunya. Waktu itu, bahkan dia tidak tahu apa itu Aurum,
apa itu larutan, apa itu metamorfosis dan cara mengaplikasikan rumus
phytagoras. Namun, ibu mengajarinya. Sehingga dia jadi tau.
Setelah
belajar, dia tidak minum susu seperti kebanyakan anak lainnya. Dia hanya cukup membaca
do’a dan tidur.
Dia adalah aku. Sungguh aku rindu masa kecilku.
Dia adalah aku. Sungguh aku rindu masa kecilku.
Aku rindu
saat mengejar layangan. Menatap ke langit yang berawan musim kemarau, melihat
padi menguning di sejauh mata memandang, gunung kokoh berdiri di bawah langit,
layang-layang tak tentu arah mengusir lelah anak-anak yg mengejarnya dan
beberapa partikel oksigen yang berikatan dan bergerak menerpa wajah.
Berbeda dgn
sekarang. Senjaku di penuhi oleh rapat dan latihan. Teman-temanku sudah sibuk
dengan dunianya. Sawah tempat kita berlari sudah menjadi perumahan. Angin yang
dulu sejuk, sekarang sudah jadi gersang. Dunia sudah berubah, aku tidak melihat
lagi anak-anak yang bermain layang-layang. Mereka sibuk dengan TV dan gadget.
Aku sudah tidak bisa lagi nostalgia. Layang-layangku sudah hilang, bersama
generasinya.
Aku pun rindu saat di marahi pulang maghrib. Di kunci dari
dalam, menangis untuk mendapat perhatian ibu, di suruh mandi, di suruh solat,
di suruh ngaji dan dimasakkan masakan yg lezat.
Berbeda dengan sekarang. Aku jauh dari rumah. Pintu tak
pernah terkunci untukku namun aku tidak pulang. Nasi hangat dan ikan asin dia
masakkan namun aku tidak juga pulang. Ibu tidak pernah memarahi jika aku pulang
maghrib lagi,bahkan tidak pulang 3 bulan pun dia tidak pernah memarahiku. Dia
tidak lagi bisa memarahiku seperti dulu. Ibu yang dulu selalu kuat melakukan
segalanya, sekarang jadi sering sakit-sakitan. Namun, tidak sedikit pun dia
menunjukkannya saat aku pulang. Dia selalu terlihat baik-baik saja, meskipun di
dadanya ada rasa sakit yang dia tahan. Dia tidak bisa marah lagi sekarang. dia
berubah jadi sosok yang selalu sabar meskipun banyak aku repotkan. Semakin baik
dia, semakin banyak ketakutanku.
Seharusnya dia sudah bisa bahagia, namun entah terbuat dari
apa hatinya, dengan keadaan kami yg begini, kesabarannya tidak pernah habis. Rasanya seperti tak ada lagi wanita yg mampu sesabar dia.
Dia adalah ibuku. Dia adalah calon penghuni surga.
Aku senang jadi anak kecil yang nakal. Anak kecil yang pulang ke rumah dengan lumpur di kakinya. Namun apa daya, aku
hidup di bumi yg memaksaku untuk terus tumbuh dan kau terus menua.
Aku ingin seperti dulu.
Disini, tidak ada tempat senyaman
rumah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar