Sabtu, 12 September 2015

Spasi Takdir



Spasi takdir

Sekawanan rasa beriringan terbang di langit kehampaan meninggalkanku yang sedari tadi menanti tumpuan hati kembali kesini. Harus terpisah karena takdir tak sama. Dia berada disana bersama permata berselimut uang kertas. Sementara aku hanya seorang diri disini, diantara tumpukan sampah air mata yang sia-sia.

Tuhan sudah menciptakan hidup seadil mungkin. Iya, sungguh adil baginya dan bagiku. Jika dia berbahagia bersama lelaki bertahta dan berharta. Maka aku, dari kejauhan sini, cukup meneguk tetesan bahagia dari kebahagiaannya. Dari senyumannya. Dari gigi putih rapih yang terlihat manis.

Iya, dia lebih memilih untuk bahagia instan daripada menemani setiap getir langkahku menuju cita.

Iya, dia lebih memilih untuk pergi dan bergantung pada tali yang di anyam dari uang kertas.

Iya, dia memang pantas memilih lelaki yang lebih mentereng.

Aku tidak merasa terluka. Aku sehat wal afiat. Aku masih sanggup hidup dengan jatah oksigenku sendiri, meskipun terkadang sesak, karena disaat-saat tertentu, oksigenku adalah dirinya.

Cukup aku sudahi rasa cinta ini dengan senyuman canggung saat bertemu dengannya.

Dulu, sesuatu yang terus ada namun tak pernah kembali adalah waktu.

Sekarang, waktu dan dia.

"Salahkah ku bila kau yang ada di hatiku"


Sastra ini di buat dgn jemari yg basah.
Dari trisandiku yang kehilangan dunianya dan pindah ke dunia sains yg membosankan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar