Spasi takdir
Sekawanan rasa beriringan terbang di langit kehampaan
meninggalkanku yang sedari tadi menanti tumpuan hati kembali kesini. Harus
terpisah karena takdir tak sama. Dia berada disana bersama permata berselimut
uang kertas. Sementara aku hanya seorang diri disini, diantara tumpukan sampah
air mata yang sia-sia.
Tuhan sudah menciptakan hidup seadil mungkin. Iya, sungguh
adil baginya dan bagiku. Jika dia berbahagia bersama lelaki bertahta dan
berharta. Maka aku, dari kejauhan sini, cukup meneguk tetesan bahagia dari
kebahagiaannya. Dari senyumannya. Dari gigi putih rapih yang terlihat manis.
Iya, dia lebih memilih untuk bahagia instan daripada
menemani setiap getir langkahku menuju cita.
Iya, dia lebih memilih untuk pergi dan bergantung pada tali
yang di anyam dari uang kertas.
Iya, dia memang pantas memilih lelaki yang lebih
mentereng.
Aku tidak merasa terluka. Aku sehat wal afiat. Aku masih
sanggup hidup dengan jatah oksigenku sendiri, meskipun terkadang sesak, karena
disaat-saat tertentu, oksigenku adalah dirinya.
Cukup aku sudahi rasa cinta ini dengan senyuman canggung
saat bertemu dengannya.
Dulu, sesuatu yang terus ada namun tak pernah kembali adalah
waktu.
Sekarang, waktu dan dia.
"Salahkah ku bila kau yang ada di hatiku"
Sastra ini di buat dgn jemari yg basah.
Dari trisandiku yang kehilangan dunianya dan pindah ke dunia
sains yg membosankan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar