.... "San ..." dengan air mata yang menghujani pelukannya.
Ayah rena telah meninggal.
"Yang sabar yah ren"
"Gue gak bisa san. Gue gak bisa hidup tanpa ayah"
Gue diem. Yang bisa gue lakukan saat itu hanya membiarkan Rena dengan kesedihannya.
Setelah beberapa saat, jenazah di makamkan. Gue menemani Rena ke pemakaman ayahnya. Sepanjang jalan ke pemakaman, Rena tak mau berhenti menangis di pelukan gue. Begitulah cara kematian bekerja. Selalu menyisakan tangis yang mendalam untuk yang ditinggalkan. Jika di bilang kejam, ya, kematian memang kejam. Namun, bagaimana lagi, segala sesuatu yg hidup sudah hakikatnya mati.
Kasihan Rena. Dia adalah anak tunggal, setelah kepergian ayahnya dia pasti sangat merasa kesepian. Gue bisa bayangin bagaimana hidup tanpa seorang ayah di usia yang lagi sangat butuh dukungan moril dari sosok seorang ayah.
"San .." Suaranya parau
"Iya ren?"
"Gue hancur banget san" dengan mata yg masih terpaku pada makam ayahnya ia mencoba mengkomunikasikan kesedihannya ke gue.
"Iya gue ngerti ko. Yang sabar yah. Semoga ayah lo di terima di sisi-Nya."
"Gue ga bisa hidup tanpa ayah gue saan" Kembali air matanya memecah pemakaman yang hening itu.
"Iya iya ren, sok nangis dulu aja" gue mengusap punggungnya. Lalu membimbing kepalanya untuk rebahan di bahu gue.
Besoknya, ucapan turut berduka cita mengalir ke Rena. Sejak kematian ayahnya, Rena yang dulu jadi berubah. Dia jadi pendiem dan sering menyendiri. Semua orang yang kehilangan Rena yg dulu mengadu ke gue. Termasuk Dewi.
"San, itu si Rena kok jadi pemurung gitu" Kata Dewi dengan sekantung es teh yg dia pegang.
"Ya wajarlah. Namanya juga baru di tinggalin ayahnya, dia pasti sedih banget."
"Tapi aku ngerasa kasian aja, Rena yg sekarang bukan Rena yang dulu. Dia pasti butuh temen. Kamu kan temen deketnya, coba kamu samperin gih. Ajak ngobrol atau apa kek."
"Kamu gimana?"
"Aku kayanya balik ke kelas aja. Gak enak juga kan kalo aku tiba-tiba so akrab. Lagian kan dia juga belom tau kalo kita baru jadian."
"Ya udah, nanti aku nyusul ke kelas yah."
"Iya, daah"
"dadah"
Lalu gue menghampiri Rena.
"Hei Bocah" dengan nada riang gue menyapa rena.
"Eh san." Rena menjawab dengan dingin.
"Lagi ngapain? Sendirian aja kaya amoeba tau gak"
"Lagi diem aja. Btw selamat yah buat lo yg udah jadian sama dewi"
"Eh?! Emmm iya sama-sama. Tapi kok bisa tau?"
"Gue liat foto selfie lo pas nonton Maliq di instagramnya Dewi."
"Hehe" Gue ketawa canggung. "Sebenernya gue mau cerita ke lo, tapi belum ada waktu yang tepat aja. Hehe" Gue mendadak bego.
"Iya gapapa ko. Jagain dia dengan baik yah. Kaya lo ngejagain gue."
"Iya, gue pasti jagain dia. Tapi santey aja, gue akan selalu ada waktu buat lo kok. Kalo perlu ntar kita maen bareng ke kutub utara"
Rena senyum. "Apaan sih lo. Ga jelas"
"Nah gitu dong. Senyum kan cantik"
Tapi jujur, waktu itu senyumnya sangat manis.
Lalu kita berdua saling diem. Memandangi langit sekolah yg biru megah.
"Makasih yah." Rena tiba-tiba bersuara.
"Makasih untuk?"
"Untuk waktu yg lo habiskan buat gue."
Gue cuma menjawab dengan senyum. Berharap bahwa senyuman ini bisa lebih dari sekedar kata 'iya, sama-sama'.
Setelah itu, kita kembali ke kelas masing-masing.
Sepulang sekolah, seperti biasa gue keluar kelas bersama dewi. Menyusuri lorong sekolah dengan tangan yg saling bergandengan.
"Aku gamau pulang dulu. Aku gatau gimana ngomongnya, tapi aku bener-bener lagi pengen sama kamu banget." Ujar dewi.
"Emmm kalo aku mau gimana kalo aku gamau gimana?"
"IIh sandi, serius .."
"Iya iya. Baiklah, Nona Dewi mau kemana sekarang? Biarkan hamba dan kuda besi butut hamba yang antar."
"Aku mau Baso Mang Ade !"
"Laksanakan ! Perintah Nona adalah fardu aen untuk hamba"
"Haha." Dewi tertawa. "Apaan sih kamu san. Gemees deh" Ia mencubit pipiku.
"Aduuh ampun ampun nona"
"Yuk pergi !" Dewi berseru.
"Mari,"
Lalu gue memakai helm dan menyela motor.
Namun, sejujurnya, perasaan gue sedang tidak menentu waktu itu.
Bersambung ...
Ayah rena telah meninggal.
"Yang sabar yah ren"
"Gue gak bisa san. Gue gak bisa hidup tanpa ayah"
Gue diem. Yang bisa gue lakukan saat itu hanya membiarkan Rena dengan kesedihannya.
Setelah beberapa saat, jenazah di makamkan. Gue menemani Rena ke pemakaman ayahnya. Sepanjang jalan ke pemakaman, Rena tak mau berhenti menangis di pelukan gue. Begitulah cara kematian bekerja. Selalu menyisakan tangis yang mendalam untuk yang ditinggalkan. Jika di bilang kejam, ya, kematian memang kejam. Namun, bagaimana lagi, segala sesuatu yg hidup sudah hakikatnya mati.
Kasihan Rena. Dia adalah anak tunggal, setelah kepergian ayahnya dia pasti sangat merasa kesepian. Gue bisa bayangin bagaimana hidup tanpa seorang ayah di usia yang lagi sangat butuh dukungan moril dari sosok seorang ayah.
"San .." Suaranya parau
"Iya ren?"
"Gue hancur banget san" dengan mata yg masih terpaku pada makam ayahnya ia mencoba mengkomunikasikan kesedihannya ke gue.
"Iya gue ngerti ko. Yang sabar yah. Semoga ayah lo di terima di sisi-Nya."
"Gue ga bisa hidup tanpa ayah gue saan" Kembali air matanya memecah pemakaman yang hening itu.
"Iya iya ren, sok nangis dulu aja" gue mengusap punggungnya. Lalu membimbing kepalanya untuk rebahan di bahu gue.
Besoknya, ucapan turut berduka cita mengalir ke Rena. Sejak kematian ayahnya, Rena yang dulu jadi berubah. Dia jadi pendiem dan sering menyendiri. Semua orang yang kehilangan Rena yg dulu mengadu ke gue. Termasuk Dewi.
"San, itu si Rena kok jadi pemurung gitu" Kata Dewi dengan sekantung es teh yg dia pegang.
"Ya wajarlah. Namanya juga baru di tinggalin ayahnya, dia pasti sedih banget."
"Tapi aku ngerasa kasian aja, Rena yg sekarang bukan Rena yang dulu. Dia pasti butuh temen. Kamu kan temen deketnya, coba kamu samperin gih. Ajak ngobrol atau apa kek."
"Kamu gimana?"
"Aku kayanya balik ke kelas aja. Gak enak juga kan kalo aku tiba-tiba so akrab. Lagian kan dia juga belom tau kalo kita baru jadian."
"Ya udah, nanti aku nyusul ke kelas yah."
"Iya, daah"
"dadah"
Lalu gue menghampiri Rena.
"Hei Bocah" dengan nada riang gue menyapa rena.
"Eh san." Rena menjawab dengan dingin.
"Lagi ngapain? Sendirian aja kaya amoeba tau gak"
"Lagi diem aja. Btw selamat yah buat lo yg udah jadian sama dewi"
"Eh?! Emmm iya sama-sama. Tapi kok bisa tau?"
"Gue liat foto selfie lo pas nonton Maliq di instagramnya Dewi."
"Hehe" Gue ketawa canggung. "Sebenernya gue mau cerita ke lo, tapi belum ada waktu yang tepat aja. Hehe" Gue mendadak bego.
"Iya gapapa ko. Jagain dia dengan baik yah. Kaya lo ngejagain gue."
"Iya, gue pasti jagain dia. Tapi santey aja, gue akan selalu ada waktu buat lo kok. Kalo perlu ntar kita maen bareng ke kutub utara"
Rena senyum. "Apaan sih lo. Ga jelas"
"Nah gitu dong. Senyum kan cantik"
Tapi jujur, waktu itu senyumnya sangat manis.
Lalu kita berdua saling diem. Memandangi langit sekolah yg biru megah.
"Makasih yah." Rena tiba-tiba bersuara.
"Makasih untuk?"
"Untuk waktu yg lo habiskan buat gue."
Gue cuma menjawab dengan senyum. Berharap bahwa senyuman ini bisa lebih dari sekedar kata 'iya, sama-sama'.
Setelah itu, kita kembali ke kelas masing-masing.
Sepulang sekolah, seperti biasa gue keluar kelas bersama dewi. Menyusuri lorong sekolah dengan tangan yg saling bergandengan.
"Aku gamau pulang dulu. Aku gatau gimana ngomongnya, tapi aku bener-bener lagi pengen sama kamu banget." Ujar dewi.
"Emmm kalo aku mau gimana kalo aku gamau gimana?"
"IIh sandi, serius .."
"Iya iya. Baiklah, Nona Dewi mau kemana sekarang? Biarkan hamba dan kuda besi butut hamba yang antar."
"Aku mau Baso Mang Ade !"
"Laksanakan ! Perintah Nona adalah fardu aen untuk hamba"
"Haha." Dewi tertawa. "Apaan sih kamu san. Gemees deh" Ia mencubit pipiku.
"Aduuh ampun ampun nona"
"Yuk pergi !" Dewi berseru.
"Mari,"
Lalu gue memakai helm dan menyela motor.
Namun, sejujurnya, perasaan gue sedang tidak menentu waktu itu.
Bersambung ...