Dia wanita yang meninggalkan karangan bunga di depan rumahku. Karangan bunga itu dipesan langsung olehnya dan diantarkan langsung oleh pengerajin bunga dari Jalan Wastukencana dengan tulisan "Turut Berdukacita atas kepergianku. Tabahlah dan selamat tinggal". Karangan bunga lainnya juga datang dari teman-temanku yang diantarkan juga oleh pengerajin bunga yang sama. Beberapa diantaranya ada yang menulis "Nikmatilah, suatu saat kamu akan jatuh cinta lagi", "Ikan di laut banyak boy!" dan ada juga yang mengatakan hal standar seperti "Rencana Tuhan pasti baik". Mereka menganggapku meninggal karena aku sudah berhari-hari tidak keluar rumah. Aku melawan badai di kamarku sendiri. Aku kedinginan dan tidak punya rumah untuk berteduh. Setidaknya seperti dulu.
Semua apa yang aku tanam di ladang sudah hancur berantakan dan tidak bersisa. Ternak yang baru saja aku beli januari kemarin ternyata terbawa banjir bandang. Pohon apel yang selalu aku inginkan untuk menjadi sesuatu yang bisa aku nikmati di kemudian hari ternyata sekarang sudah terbang dibawa oleh angin puting beliung. Sebuah bencana yang hanya dibawa oleh kepergiannya.
Padang rumput, aku mengingatnya, semuanya, semua detilnya. Banyak yang sudah aku lakukan untuk menjaga dia tetap baik-baik saja ditengah bencana yang diciptakan oleh orang-orang sebelumnya. Aku ingin dia tetap bertahan dan tidak patah semangat. Di tengah badainya aku keluar, mencoba memanipulasi cuaca dengan kemampuanku menciptakan sihir hal-hal mengagumkan. Aku mengorbankan banyak hal untuk menjaganya agar tidak terluka dan mampu melewati badai. Aku sediakan rumah agar dia bisa berteduh. Aku ciptakan semesta untuknya hanya untuk dia menetap. Aku sudah terlalu jatuh ke dalam lubang "Harapan agar dia bahagia" dan sekarang saatnya aku merasakan badai yang dia ciptakan karena kepergiannya.
Badai itu hampir saja membunuh seekor rusa yang memiliki tanduk yang indah. Rusa itu sedang berlari-lari di hutan bersama kawanannya dan sekarang rusa itu sedang melayang-layang terbawa angin entah kemana angin itu membawanya. Bisa jadi ke sebuah savana yang penuh dengan hewan buas yang siap memangsanya. Tapi yang akan ku tegaskan disini adalah, badai itu hampir membunuh rusa itu.
Tentang bunga yang ia tinggalkan di halaman depan itu, bagiku adalah hal yang cukup manis dalam sebuah kepergian, ah sial, aku masih saja memujinya.
Jatuh ke dalam sebuah perasaan menyalahkan diri sendiri tidak menyenangkan. Merasa tidak diterima karena anugerah yang Tuhan berikan itu tidak menyenangkan. Bibit,bebet dan bobot. Aku mengulang-gulang kata-kata itu sampai tidak ada artinya. Sampai benar-benar habis rasa muak sehingga ikhlas bisa mengisinya. Aku menyalahkan diriku sendiri atas apa yang tidak aku punyai dan belum sanggup aku capai. Aku menyalahkan diriku sendiri atas apa yang tidak bisa aku ciptakan untuk membuatnya tertarik. Aku menyalahkan diriku sendiri atas semuanya.
Aku menjadi sangat kecil. Harapan yang semula hidup karenanya kini semua tak bersisa. Aku harus menanami ladang dari awal lagi, membeli ternak lagi dari awal dan menumbuhkan pohon apel sendiri dari awal.
Namun setelah badai ini selesai. Setelah semua ini reda.