Rabu, 28 April 2021

Rusa Bertanduk Indah

Dia wanita yang meninggalkan karangan bunga di depan rumahku. Karangan bunga itu dipesan langsung olehnya dan diantarkan langsung oleh pengerajin bunga dari Jalan Wastukencana dengan tulisan "Turut Berdukacita atas kepergianku. Tabahlah dan selamat tinggal". Karangan bunga lainnya juga datang dari teman-temanku yang diantarkan juga oleh pengerajin bunga yang sama. Beberapa diantaranya ada yang menulis "Nikmatilah, suatu saat kamu akan jatuh cinta lagi", "Ikan di laut banyak boy!" dan ada juga yang mengatakan hal standar seperti "Rencana Tuhan pasti baik". Mereka menganggapku meninggal karena aku sudah berhari-hari tidak keluar rumah. Aku melawan badai di kamarku sendiri. Aku kedinginan dan tidak punya rumah untuk berteduh. Setidaknya seperti dulu.

Semua apa yang aku tanam di ladang sudah hancur berantakan dan tidak bersisa. Ternak yang baru saja aku beli januari kemarin ternyata terbawa banjir bandang. Pohon apel yang selalu aku inginkan untuk menjadi sesuatu yang bisa aku nikmati di kemudian hari ternyata sekarang sudah terbang dibawa oleh angin puting beliung. Sebuah bencana yang hanya dibawa oleh kepergiannya.

Padang rumput, aku mengingatnya, semuanya, semua detilnya. Banyak yang sudah aku lakukan untuk menjaga dia tetap baik-baik saja ditengah bencana yang diciptakan oleh orang-orang sebelumnya. Aku ingin dia tetap bertahan dan tidak patah semangat. Di tengah badainya aku keluar, mencoba memanipulasi cuaca dengan kemampuanku menciptakan sihir hal-hal mengagumkan. Aku mengorbankan banyak hal untuk menjaganya agar tidak terluka dan mampu melewati badai. Aku sediakan rumah agar dia bisa berteduh. Aku ciptakan semesta untuknya hanya untuk dia menetap. Aku sudah terlalu jatuh ke dalam lubang "Harapan agar dia bahagia" dan sekarang saatnya aku merasakan badai yang dia ciptakan karena kepergiannya.

Badai itu hampir saja membunuh seekor rusa yang memiliki tanduk yang indah. Rusa itu sedang berlari-lari di hutan bersama kawanannya dan sekarang rusa itu sedang melayang-layang terbawa angin entah kemana angin itu membawanya. Bisa jadi ke sebuah savana yang penuh dengan hewan buas yang siap memangsanya. Tapi yang akan ku tegaskan disini adalah, badai itu hampir membunuh rusa itu.

Tentang bunga yang ia tinggalkan di halaman depan itu, bagiku adalah hal yang cukup manis dalam sebuah kepergian, ah sial, aku masih saja memujinya.

Jatuh ke dalam sebuah perasaan menyalahkan diri sendiri tidak menyenangkan. Merasa tidak diterima karena anugerah yang Tuhan berikan itu tidak menyenangkan. Bibit,bebet dan bobot. Aku mengulang-gulang kata-kata itu sampai tidak ada artinya. Sampai benar-benar habis rasa muak sehingga ikhlas bisa mengisinya. Aku menyalahkan diriku sendiri atas apa yang tidak aku punyai dan belum sanggup aku capai. Aku menyalahkan diriku sendiri atas apa yang tidak bisa aku ciptakan untuk membuatnya tertarik. Aku menyalahkan diriku sendiri atas semuanya.

Aku menjadi sangat kecil. Harapan yang semula hidup karenanya kini semua tak bersisa. Aku harus menanami ladang dari awal lagi, membeli ternak lagi dari awal dan menumbuhkan pohon apel sendiri dari awal.

Namun setelah badai ini selesai. Setelah semua ini reda.

Tidak semua hal terjadi

Kita hidup dalam sebuah dunia yang mengharuskan kita untuk tidak berekspektasi terhadap apapun. Hidup adalah pejalanan yang harus ditempuh dengan langkah bukan dengan angan-angan. Dari semua yang pernah di ekspektasikan, banyak yang tidak terjadi dan kita harus baik-baik saja dengan itu - atau lebih tepatnya dipaksa baik-baik saja.

Masa-masa gelap adalah masa dimana aku tidak menemukan cahaya sedikitpun. Sekarang dan sampai entah kapan. Aku sangat merasa tidak berguna. Jadi, biar kuceritakan kepadamu sekarang. Duduklah.

Aku telah dua kali melamar wanita. Saat itu, aku pikir menikah dengan orang yang kita cinta akan menjadi sebuah goals yang membuat hidup akan jadi lebih indah. Untuk tertawa bersama dan hidup dalam percakapan-percakapan ringan yang menyenangkan setiap malamnya. Tanpa menikah, tidak ada jaminan bahwa kita akan lebih dekat ke selamanya. Namun semuanya berakhir tidak baik-baik saja yang mana I have to deal with it. 

Kita mulai dari yang pertama. Seorang wanita baik penuh dengan gairah untuk hidup, pintar dan lucu. Dia mampu melihat hal-hal dengan sangat murni dan seimbang. Sudut pandang yang tidak pernah aku bisa capai karena otak aku separuhnya adalah hati. Sering sekali kita membicarakan hal-hal yang membuat aku sangat excited jika berbicara dengannya. Kita membedah semua hal yang terjadi di bumi, membuka kemungkinan-kemungkinan baru yang menjadi bahan bakar tawa kita. Kita membedah langit sampai partikel terkecil dari anatomi tubuh justin tiffani. Sangat menyenangkan untuk menghabiskan hidup dengannya. Aku sangat jatuh cinta padanya, waktu itu, di waktu yang tidak pernah aku bayangkan akan segelap ini.

Cara dia berpikir adalah request aku terhadap Tuhan tentang siapa yang aku inginkan hidup bersama dan menghabiskan cangkir-cangkir malam bersama. Aku butuh penyeimbang. Aku sebagaimana sebuah elektron yang kelebihan gaya sentrifugal sehingga aku butuh proton di inti agar aku berputar mengelilinginya. Namun, aku bukan pilihannya. Dia tidak bisa mencintaiku. Bahkan aku tawarkan waktu, dia menawarkan balik kepadaku prinsipnya.

Matahari mulai redup. Malam mulai masuk. Salju turun. Aku tidak punya tempat berteduh. Aku kedinginan, jangankan api, cahaya harap saja tidak aku kutemukan di masa gelap pertama ini aku hilang arah. Mata ku masih berfungsi, namun gelap membuatnya tidak bisa melihat apa-apa. Aku jatuh dalam infinity jurang anjay. Udah sampai situ saja ceritanya. Sisanya aku sudah tidak bisa melanjutkan karena sangat gelap disini.

Yang kedua. Tempat pulang yang aku kira awalnya akan terakhir tenyata tidak sebaik harapannya. Tidak semua harap berujung pada tercapainya mimpi. Tidak semua harap memiliki ujung, kadang kita harus berharap seumur hidup atau berhenti seumur hidup.