Jumat, 17 Mei 2024

Tentang seorang anak bernama laki-laki sulung

Aku pernah mendengar kisah dari seberang samudera, tentang sebuah bangunan yang tiangnya hanya satu dan diatasnya berdiri gunung dan sebuah kota. Dalam keheningannya, tiang itu bernama anak sulung. Anak yang tidak mendapatkan kasih, tapi selalu di tuntut untuk memberi. Anak yang tidak mendapatkan support, namun selalu dituntut untuk mensupport. Anak yang tidak punya tempat berbagi, tapi apa yang dia punya selalu harus dibagi. Anak yang selalu di maki, tapi tak pernah di bagi. Anak yang sendirian dan kesepian namun harus terus melangkah. Tidak punya tempat bergantung. Hanya punya uang jika beruntung.

Aku pikir dunia memang selalu berjalan dengan demikian, dengan kejam dan jahat. Jadi tidak ada ruang untuk merasakan kebahagiaan, karena kebahagiaan yang dirasakan tidak penuh, harus selalu terbagi, namun jika, sakit, maka harus di telan sendiri.

Tidak ada perhatian atau penantian sebuah angin dari selatan yang mematahkan ranting-ranting di utara. Tidak ada jalan bagi seekor kuda yang kakinya patah jauh sebelum menyebrangi sungai. Tidak ada kabar baru dari masa depan tentang keputusasaan seorang kesatria ini. Tidak ada apapun di dunia ini kecuali dia harus merelakan.

Merelakan dirinya terluka, merelakan dirinya terbagi, merelakan kebebasannya diambil, merelakan kegagalan demi kegagalan, makian demi makian ia telan, pahitnya kehidupan ia korbankan.

Tidak ada yang bisa ia percaya. Tidak ada yang bisa ia benar-benar percaya. Semua orang tidak menyukainya, kecuali dia ada manfaatnya. Tidak ada ketenangan batin, tidak ada masa depan yang pasti, tidak ada yang dapat menanggungnya dari rasa takut dan sedih, tidak ada yang dapat membuatnya bangkit.

Semuanya hanya menuntut dan menuntut. Sementara ia adalah tiang itu. Yang berdiri sendiri. Menopang semuanya sendiri.