Kamis, 23 Maret 2023

Sendirian

Ini adalah sebuah hikayat. Tentang bagaimana seorang laki-laki yang menanggung ekspektasi dan realita yang akhirnya dia tenggelam dalam warna merahnya derita.

Bagaimana bisa seorang anak menjadi sangat durhaka karena kesalahannya, namun orang tua tidak bisa durhaka kepada anak atas kesalahannya?

Sudah lama ia menanggung ini semua. Bahkan belum sempat ia mencicipi embun yang dia tunggu sejak semalam suntuk begadang, sudah hilang embun itu di seruput oleh ayahnya sendiri. Aku bukan tidak mau berbakti, tapi bakti ini menyiksa. Ikhlas ini tidak kemana-mana.

Dikisahkan seorang anak yang akan menikah, habis harta dan harga dirinya untuk menyuapi banyak hal. dipikul beban itu dengan tiang-tiang air mata yang bahkan tidak pernah didengar oleh orang tua dan kekasihnya. Anak itu hanya bisa menjadi rumah rapuh yang berteduh, dan ditinggalkan ketika sudah runtuh.

Dibawanya dirinya untuk mengadu nasib di jakarta, ibukota tempat dosa dan pahala bercampur menjadi lautan. Ia telah berusaha, tapi tetap saja tidak cukup, tetap saja tidak cukup. Bagian manakan dalam dirinya yang najis, sehingga ia dihinakan dan di buang oleh kekasihnya sendiri yang pernah mengikatkan janjinya kepada harapannya yang menjulang tinggi bagai tangkai bunga langit.

Kemanakah orang tuanya?

Mereka hilang. Sibuk dengan luka mereka dan urusan mereka tanpa pernah bersentuh kabar dengan anaknya, anaknya yang memberikan dia air saat dahaga, anaknya yang menolong ia saat tak berdaya, anaknya yang membela keluarganya meskipun harus berdarah. 

Tidak ada pelukan hangat seorang ibu, tidak ada yang mengerti betul bagaimana rasanya menjadi sendirian di tengah keramaian.

Kemanakah kekasihnya?

Tidak ada. Ia telah membuangnya. Menghinakannya. Membandingkannya. Melukainya dengan ego dan kata-kata tajam menusuk. Menjadikannya opsi pertama, lalu hilang bersama opsi kedua. Yang besar baginya terlihat sangat sedikit. Tidak di hargainya. Direndahkannya.

Ia tetap pergi. Merasa bahwa anak lelaki ini tidak memiliki harga sehingga dengan begitu mudahnya ia tinggalkan dengan segala pucuk pengharapannya. Dengan segala mimpi-mimpi yang masih ia jaga. Dan lalu ia bercumbu dengan yang lainnya, tanpa tau betapa meringisnya hati laki-laki tanpa arah dan nama. Bahkan sudah sejak lama. Memang sudah seharusnya, ia mencari kebahagiaan sendiri, ketika tidak pernah merasa syukur dengan apa yang di beri.

Akhirnya sendirian. Tidak ada uang kertas. Tidak ada emas. Tidak ada apapun yang tersisa selain tahajjudnya dalam tangis yang sunyi. Ia hanya membeli dunia tanpa pernah di beri oleh sang pencipta. Sehingga ketika uangnya habis, dunianya pergi. 

Maka demikianlah hatiku, demikianlah seorang anak laki-laki yang memikul realita dan ekspektasi, sunyi sendiri, dalam ruang yang waktu saja tidak diizinkannya masuk, kecuali air mata.

Orang tuanya. Kekasihnya. Pergi.

Dirinya. Sendiri.